Sang
Malaikat dari Tuhan
Hanya embun yang boleh
membasahi daun dipagi hari, hanya awan yang boleh berpadu dengan langit, hanya
bintang yang boleh menghias langit dimalam hari, dan hanya ada aku yang boleh
bernada dalam nuansa yang bergeming membawa mimpi. Petikan gitar membuat
kesunyian di komplek perumahan ini pecah, ada malam, ada lagu, dan ada aku.
Begitulah perjalananku demi mendapatkan sesuap nasi. Aku bukan pengemis, bukan
pula penjilat, aku hanyalah seorang pengamen jalanan yang bangga dengan gitar
rongsokanku, dan dengan topi yang setiap langkahku selalu menemani. Setiap
malam aku seperti kucing, yang mengembara dari satu rumah ke rumah lain. Tetapi
aku tetap bangga dengan diriku, karena aku masih bisa bisa bersekolah meskipun
di setiap nadiku hanya bergulir lagu-lagu. Terkadang ada hinaan, ada juga
kekerasan, tetapi aku akan tetap bertahan. Badanku telah terbiasa dengan kerasnya angin di
malam-malamku. Badai saja mampu kulalui, apalagi hanya segelintir manusia yang
terlalu sombong dengan dunianya.
***
Keramaian
saja tak mampu membuatku tertunduk malu, apalagi hanya cemohan dari teman-teman
sekolahku yang hanya memandangku sebelah mata. Tak peduli apa kata mereka, aku
ya aku…..begitulah prinsip yang kujalani. Aku sudah terbiasa dipanggil Anif si
anak jalanan, “wah……namaku semakin popular saja,” begitulah gumamku setiap
harinya. Tetapi, entah apa yang terjadi, hari-hariku semakin berubah ketika ada
murid baru di Sekolah, disetiap pancaran sinar matanya mampu menerangi hatiku
yang sempat tertutup oleh angin malam. “Farda” begitulah teman-temanku
memanggilnya. Betapa indahnya setiap kali aku berpapasan dengannya, sungguh
kedamaian itu mulai terasa ketika aku mendapatinya sedang melantunkan ayat-ayat
suci Al-Quran didalam Mushalla.
“wow….betapa merdunya suara itu?”
begitulah yang aku katakan setiap kali aku memperhatikannya dari kejauhan. Sedangkan
aku sudah begitu lama tidak mengenal tuhan, entah kenapa sepertinya sosok Farda
membuat hatiku bergetar, setiap kali dia mengaji. “inikah petunjukmu tuhan…..kau
kirimkan malaikat untukku” waduh….aku semakin kebingungan dengan apa yang ada
sekarang. Ingin sekali rasanya aku mengungkapkan apa yang telah kurasakan saat
ini, tetapi pantaskah anak jalanan sepertiku bisa mencintai seorang hawa yang
begitu indah peringainya.
***
Siang
telah berlalu, dimana aktivitasku akan kujalani. Dengan langkah yang pasti aku
menuju sebuah rumah yang terlihat sangat sederhana, entah kenapa langkahku ragu
untuk mendatangi rumah itu.
Sepertinya aku merasakan nuansa
lain dalam hatiku. “ Tetapi aku harus bisa”, kataku dalam hati. Dengan petikan
gitar dan kepiawaianku dalam bernyanyi sungguh terbukti kehebatannya, ketika
seorang gadis keluar dengan balutan busana muslimnya
“suaramu bagus”, sapanya padaku. Hati
ini tersentak, badanku terasa kaku, ini kali pertamanya Farda menyapaku.
“ iya terima kasih…”, ku balas dengan
senyum terindahku.
“ namaku Farda”, katanya lagi.
“ aku Anif, disini rumahmu?” tanpa ragu
lagi aku segera membalas pertanyaanya.
“ iya, aku senang bisa melihatmu malam
ini”, jawab Farda dengan menyunggingkan senyum manisnya.
“ kenapa?” jawabku.
“ tidak apa-apa”, sambil melangkah
pergi.
“ benar-benar wanita penuh misteri”,
gumamku dalam hati.
Malam
ini membuatku seperti pangeran yang telah menemukan Cindrella. Benar-benar malam
keberuntungan buatku. “Benarkah Farda juga merasakan seperti apa yang aku
rasakan” keresahan itulah yang selalu membuntutiku. Tetesan hujan membuatku
semakin asik dengan lamunanku, kini bukan hanya petikan gitarku yang mampu
meramaikan hati orang, tetapi nada-nada cinta telah ber irama indah dalam
hatiku. Aku ingin segera pulang, ketika badanku terasa penat, aku terus
melangkah melewati lorong-lorong yang semakin sepi. Tetapi hatiku terasa
terusik ketika aku melihat rumah Allah, ingin sekali rasanya aku mencuci wajah
disana. Kerinduanku akan tuhan semakin besar, aku semakin sadar bahwa Farda
telah mengubah hidupku “ mungkin dia benar-benar malaikat yang dikirim tuhan
untukku” kataku dalam hati. Sajadah yang kujadikan sebagai alas, menjadi saksi
malam ini. Aku benar-benar merasa
tentram, keresahan yang selama ini kujalani terasa hilang.
***
Seandainya
aku bisa, akan kuungkapkan segala rasa yang telah ada. Bukan aku tak mau, bukan
pula aku tak mampu, tetapi aku benar-benar tak bisa menerima kenyataan kalau
Farda sebenarnya tak punya rasa yang sama denganku. Aku hanya kasihan pada
hatiku, bukan karena rasa Maluku, tetapi aku tak tau harus bagaimana. Mungin
rasaku kan kuungkapkan dengan sebuah lagu, semoga saja dia mengerti. Dengan susah
payah aku berusaha membuat sebuah puisi yang kan ku aransemen menjadi sebuah
lagu yang indah.
Nada-nada cinta
Saat hati mulai menjerit
menyebut namanya
Mulutpun tak kuasa
mengumandangkan selain itu
Yang bisa kulakukan hanya
mengeluarkan air mata
Berharap setiap tetes bisa
mencairkan hati esnya
Entah penting atau tidak
Andainya dia tahu
Bahwa hatiku,
Sangat menginginkannya
Hanya embun yang boleh
membasahi daun di pagi hari
Hanya awan yang boleh berpadu
dengan langit
Dan hanya bintang yang boleh
menghias langit dimalam hari
Dia boleh tertawa disana
Sedang mataku lebam disini
Karena cinta tak butuh rumus
Tak penting tuk dihitung
Bukan sekarang, tapi nanti
Kuharap dia akan jadi orang
Yang kulihat pertama kali
Ketika terbit dan terbenamya
matahari
Dengan rangkul dan peluk
hangatnya
Disuatu rumah penuh kedamaian
Kita dan anak- anak kita
Begitulah
syair lagu yang kan mewakili perasaanku “Farda harus tahu bagaimana gejolak
dalam hatiku,” begitulah tekadku. Kemudian, dengan keraguan yang menyelimuti,
aku memberanikan diri untuk memberikan lagu ini padanya
“
hem….,” tegurku pada Farda.
“ hey….anif, ada apa? Tumben ada di
Mushalla….”, jawab Farda
“ tidak…..Cuma lagi iseng saja”
“ohw …. Tak kirain mau nemenin Farda
bersihin Mushalla, he he he”, Farda tertawa lepas.
“ Farda…..aku boleh ngasih sesuatu?”
“ apaan tuh ?” jawab Farda, lalu aku
memberikannya sebuah kertas yang sudah kulipat dengan rapi.
“ini lagu karanganku…..semoga saja kamu
senang membacanya, lain kali akan kunyayikan lagu ini buatmu”,
“wow….hebat”, sahut Farda sambil
tersenyum.
Kemudian
aku melangkah pergi, kakiku terasa ringan, hatiku sedikit tentram, “semoga saja
Farda bisa membalas rasaku padanya”, begitulah bait-bait harapku dalam satu
hari ini. Entah apa yang terjadi, setelah aku memberikan surat itu, aku tak
pernah lagi melihat Farda di sekolah. Sempat kupertanyakan pada teman-temannya,
tetapi tak seorangpun memberikan keterangan yang jelas. Hari-hariku benar
kacau, “benarkah tuhan telah mengambil malaikatku lagi? Ataukah Farda malu
setelah membaca surat dariku karena dia malu dicintai oleh seorang pria
sepertiku”, pikiranku semakin kacau. Hari-hariku terasa sepi tanpanya, tak ada
lagi nada-nada cinta, tak ada lagi lantunan ayat suci, dan tak ada lagi
secercah senyuman yang mampu mengalihkan duniaku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar