Kamis, 10 Januari 2013

Kumpulan Cerpen


Sang Malaikat dari Tuhan

Hanya embun yang boleh membasahi daun dipagi hari, hanya awan yang boleh berpadu dengan langit, hanya bintang yang boleh menghias langit dimalam hari, dan hanya ada aku yang boleh bernada dalam nuansa yang bergeming membawa mimpi. Petikan gitar membuat kesunyian di komplek perumahan ini pecah, ada malam, ada lagu, dan ada aku. Begitulah perjalananku demi mendapatkan sesuap nasi. Aku bukan pengemis, bukan pula penjilat, aku hanyalah seorang pengamen jalanan yang bangga dengan gitar rongsokanku, dan dengan topi yang setiap langkahku selalu menemani. Setiap malam aku seperti kucing, yang mengembara dari satu rumah ke rumah lain. Tetapi aku tetap bangga dengan diriku, karena aku masih bisa bisa bersekolah meskipun di setiap nadiku hanya bergulir lagu-lagu. Terkadang ada hinaan, ada juga kekerasan, tetapi aku akan tetap bertahan. Badanku telah  terbiasa dengan kerasnya angin di malam-malamku. Badai saja mampu kulalui, apalagi hanya segelintir manusia yang terlalu sombong dengan dunianya.
***
            Keramaian saja tak mampu membuatku tertunduk malu, apalagi hanya cemohan dari teman-teman sekolahku yang hanya memandangku sebelah mata. Tak peduli apa kata mereka, aku ya aku…..begitulah prinsip yang kujalani. Aku sudah terbiasa dipanggil Anif si anak jalanan, “wah……namaku semakin popular saja,” begitulah gumamku setiap harinya. Tetapi, entah apa yang terjadi, hari-hariku semakin berubah ketika ada murid baru di Sekolah, disetiap pancaran sinar matanya mampu menerangi hatiku yang sempat tertutup oleh angin malam. “Farda” begitulah teman-temanku memanggilnya. Betapa indahnya setiap kali aku berpapasan dengannya, sungguh kedamaian itu mulai terasa ketika aku mendapatinya sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran didalam Mushalla.
“wow….betapa merdunya suara itu?” begitulah yang aku katakan setiap kali aku memperhatikannya dari kejauhan. Sedangkan aku sudah begitu lama tidak mengenal tuhan, entah kenapa sepertinya sosok Farda membuat hatiku bergetar, setiap kali dia mengaji. “inikah petunjukmu tuhan…..kau kirimkan malaikat untukku” waduh….aku semakin kebingungan dengan apa yang ada sekarang. Ingin sekali rasanya aku mengungkapkan apa yang telah kurasakan saat ini, tetapi pantaskah anak jalanan sepertiku bisa mencintai seorang hawa yang begitu indah peringainya.
***
            Siang telah berlalu, dimana aktivitasku akan kujalani. Dengan langkah yang pasti aku menuju sebuah rumah yang terlihat sangat sederhana, entah kenapa langkahku ragu untuk mendatangi rumah itu.  Sepertinya  aku merasakan nuansa lain dalam hatiku. “ Tetapi aku harus bisa”, kataku dalam hati. Dengan petikan gitar dan kepiawaianku dalam bernyanyi sungguh terbukti kehebatannya, ketika seorang gadis keluar dengan balutan busana muslimnya
“suaramu bagus”, sapanya padaku. Hati ini tersentak, badanku terasa kaku, ini kali pertamanya Farda menyapaku.
“ iya terima kasih…”, ku balas dengan senyum terindahku.
“ namaku Farda”, katanya lagi.
“ aku Anif, disini rumahmu?” tanpa ragu lagi aku segera membalas pertanyaanya.
“ iya, aku senang bisa melihatmu malam ini”, jawab Farda dengan menyunggingkan senyum manisnya.
“ kenapa?” jawabku.
“ tidak apa-apa”, sambil melangkah pergi.
“ benar-benar wanita penuh misteri”, gumamku dalam hati.
            Malam ini membuatku seperti pangeran yang telah menemukan Cindrella. Benar-benar malam keberuntungan buatku. “Benarkah Farda juga merasakan seperti apa yang aku rasakan” keresahan itulah yang selalu membuntutiku. Tetesan hujan membuatku semakin asik dengan lamunanku, kini bukan hanya petikan gitarku yang mampu meramaikan hati orang, tetapi nada-nada cinta telah ber irama indah dalam hatiku. Aku ingin segera pulang, ketika badanku terasa penat, aku terus melangkah melewati lorong-lorong yang semakin sepi. Tetapi hatiku terasa terusik ketika aku melihat rumah Allah, ingin sekali rasanya aku mencuci wajah disana. Kerinduanku akan tuhan semakin besar, aku semakin sadar bahwa Farda telah mengubah hidupku “ mungkin dia benar-benar malaikat yang dikirim tuhan untukku” kataku dalam hati. Sajadah yang kujadikan sebagai alas, menjadi saksi malam ini.  Aku benar-benar merasa tentram, keresahan yang selama ini kujalani terasa hilang.

***
            Seandainya aku bisa, akan kuungkapkan segala rasa yang telah ada. Bukan aku tak mau, bukan pula aku tak mampu, tetapi aku benar-benar tak bisa menerima kenyataan kalau Farda sebenarnya tak punya rasa yang sama denganku. Aku hanya kasihan pada hatiku, bukan karena rasa Maluku, tetapi aku tak tau harus bagaimana. Mungin rasaku kan kuungkapkan dengan sebuah lagu, semoga saja dia mengerti. Dengan susah payah aku berusaha membuat sebuah puisi yang kan ku aransemen menjadi sebuah lagu yang indah.



Nada-nada cinta
Saat hati mulai menjerit menyebut namanya
Mulutpun tak kuasa mengumandangkan selain itu
Yang bisa kulakukan hanya mengeluarkan air mata
Berharap setiap tetes bisa mencairkan hati esnya
        Entah penting atau tidak
        Andainya dia tahu
        Bahwa hatiku,
Sangat menginginkannya
Hanya embun yang boleh membasahi daun di pagi hari
Hanya awan yang boleh berpadu dengan langit
Dan hanya bintang yang boleh menghias langit dimalam hari
        Dia boleh tertawa disana
Sedang mataku lebam disini
Karena cinta tak butuh rumus
Tak penting tuk dihitung
Bukan sekarang, tapi nanti
Kuharap dia akan jadi orang
Yang kulihat pertama kali
Ketika terbit dan terbenamya matahari
Dengan rangkul dan peluk hangatnya
Disuatu rumah penuh kedamaian
Kita dan anak- anak kita
            Begitulah syair lagu yang kan mewakili perasaanku “Farda harus tahu bagaimana gejolak dalam hatiku,” begitulah tekadku. Kemudian, dengan keraguan yang menyelimuti, aku memberanikan diri untuk memberikan lagu ini padanya
  hem….,” tegurku pada Farda.
“ hey….anif, ada apa? Tumben ada di Mushalla….”, jawab Farda
“ tidak…..Cuma lagi iseng saja”
“ohw …. Tak kirain mau nemenin Farda bersihin Mushalla, he he he”, Farda tertawa lepas.
“ Farda…..aku boleh ngasih sesuatu?”
“ apaan tuh ?” jawab Farda, lalu aku memberikannya sebuah kertas yang sudah kulipat dengan rapi.
“ini lagu karanganku…..semoga saja kamu senang membacanya, lain kali akan kunyayikan lagu ini buatmu”,
“wow….hebat”, sahut Farda sambil tersenyum.
            Kemudian aku melangkah pergi, kakiku terasa ringan, hatiku sedikit tentram, “semoga saja Farda bisa membalas rasaku padanya”, begitulah bait-bait harapku dalam satu hari ini. Entah apa yang terjadi, setelah aku memberikan surat itu, aku tak pernah lagi melihat Farda di sekolah. Sempat kupertanyakan pada teman-temannya, tetapi tak seorangpun memberikan keterangan yang jelas. Hari-hariku benar kacau, “benarkah tuhan telah mengambil malaikatku lagi? Ataukah Farda malu setelah membaca surat dariku karena dia malu dicintai oleh seorang pria sepertiku”, pikiranku semakin kacau. Hari-hariku terasa sepi tanpanya, tak ada lagi nada-nada cinta, tak ada lagi lantunan ayat suci, dan tak ada lagi secercah senyuman yang mampu mengalihkan duniaku.


***


www.PuspitaSenja.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar